:Soe Hok Gie
Baru
saja aku bertemu pengantar, tanpa jeda orang-orang membicarakanmu.
Mereka
memanggilmu Soe, Hok Gie adapula Gie.
Kata-kata
berbaris gagah menatapiku dengan iba, mengelakarkanku dengan tawa.
Lantaran,
yang kutahu hanyalah sosok–sosok pemeran kisah saduran di negeri tanpa wajah.
Tak
mengenal kata segan, serampangan merekapun menghujatiku, Apatis! Melankolis!.
Suara-suara
masih menggema, rupanya, mereka tak rela membiarkanku bertitle mahasiswa.
-Mahasiswa,
dengan nyali yang telanjang tak terpejam-
Mataku
menyulutkan api!
Siapa
Soe? Hok Gie? Atau Gie?
Pada
mulanya, aku memandang ragu. Lantas lewat, Ia binasakan derap abu-abu pada pucuk
langkahku. Ia mengulurkan tangan padaku, menuntunku dengan peta halaman berbaju
baru.
Dan
kini, dalam diamku, masih terpaku pada
sosok yang memburu, itu!
:Soe Hok Gie,
Ia
kenakan pakaian idealis saat berjalan
di antara para pecundang negeri. Pun kala penyuap kelas teri sedang asik
berjudi, jalan licin bercecabangpun tak berani menjulurkan nurani melihat kejujuran yang Ia miliki. Masih terus Ia
telusuri tentang nadi demokrasi, yang ternyata lagi-lagi dibungkam lidah
pengobral janji. Perjalanan selalu mengantarnya di barisan depan, dengan menggeramkan
keberanian Ia terjang gerbang penjara
ketidakadilan. Sampai pula pada sebuah tanya, Adakah yang masih bisa dipercayai?
Hari
berlalu dalam suram dan kelabu,
Tiba-tiba
kau pergi tanpa berpamitan, tanpaku menanyakan sebuah pertanyaan padamu. Tanpa
ada sebuah perkenalan. Namun, entahlah jejakmu tak pernah raib terhapus waktu.
Pada
akhirnya api membakar jiwa, saat Ia berkata “lebih baik diasingkan daripada
menyerah pada kemunafikan”.
:Soe,
bolehkah aku memanggilmu seperti itu, lalu mengenalmu dengan Sajakku?
Sebuah salam untuk kawan, Hidup Mahasiswa!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar