Add caption |
Aku bukan peminta!
Layaknya yang kau dengar, kau obrolkan
hanyalah itu-itu saja.
Senandung lagu bengis pada pelupuk mata, pada
kantong recehan yang bersisa, serak suara ini menjadi patung-patung tak
berharga.
Dandananku memang urakan, tapi tidaklah
sepertimu, mengendap-endap mencari mangsa tanpa berkaca pada semut-semut yang
kau tipu daya.
Pada senja yang tak memihak,
renta tubuhku dimakan usia, sekadar jerit
hitam menjemput maut di kamar kampungan menghabiskan
segala kenangan.
:Tentang lima cucuku,
meronta, mengelus perut hingga kemarin lusa,
akhirnya, bumi tak mengijinkannya menggantung dosa pada pepohonan
berlarut-larut usia. Ia tak mau, melihat nasib cucuku yang bisanya hanya
memperkosa tanah-tanah haram, dari bayang-bayang kaum teraniaya.
Bukan hujatan tajam kusampaikan pada
mulut-mulut pembual, sarkasme tanpa nurani yang melonglong mengusap segala
obralan janji padam.
Bisakah aku memesan sebiji jagung pada penyelundup keadilan?
Catatlah di nota harianmu itu, jajanan untuk
kumpulan terasingkan di sudut kota, mereka sedang mengisi pemantik di ruang
kusut dalam sampah-sampah yang terlelap dari tidurnya.
Catatlah pula, lagu di kolong jembatan dengan
gaung waktu yang selalu bersahut-sahutan, antara aksara dan sebiji jagung
kerjanya hanya menggorok leher dengan harga rendahan.
Yang dijanjikan kantong tebal, usang tersekap
oleh bualan yang melambaikan tangan dengan ucapan “selamat tinggal.”
Berkisah cerita memekakkan telinga, memtakkan
mata yang tak bernyawa dengan racun-racun penggerogot jiwa. Kini pada senyum
penghabisan, merambat dalam kegelapan menunggu dogma-dogma tak lagi dilegalkan.
Sampailah, Aku pada ujung maut dengan
kata-kata,”Aku bukan peminta yang seenaknya kau pajang muka “so’melas” pada hasrat saputangan yang tenggelam di sisa kesibukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar